Salah satu luka kelam yang terjadi dalam sejarah Indonesia adalah kerusuhan yang terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada 1999 silam. Imbas dari kerusuhan itu, hampir 30 ribu orang Madura di Sambas harus mengungsi. Sebagian besar pulang ke kampung halaman mereka dengan meninggalkan seluruh harga benda dan hanya membawa trauma yang entah kapan bisa hilang.

Selepas kerusuhan itu, pelan-pelan bermunculan bantuan dan kegiatan untuk menghilangkan trauma yang dirasakan oleh para pengungsi itu. Para relawan berdatangan dari penjuru negeri, juga banyak warga asing yang ambil bagian. Faiqotul Hikmah adalah salah satu relawan yang turut membantu pemulihan trauma para pengungsi ini.

Saat itu fokus utama Faiqotul dan tim yang terjun di kawasan Bangkalan adalah membantu para pengungsi ini untuk bisa kembali berdiri. Berdiri di atas kaki sendiri.

“Kami kepikiran bagaimana agar para pengungsi ini memiliki penghasilan tetap untuk bisa bertahan hidup,” kenang Faiqotul yang merupakan alumni Fakultas Ekonomi Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya.

Saat itu mereka berpikir kerajinan apa yang cocok untuk dibuat. Muncullah ide untuk membuat kerajinan dari daun agel. Orang Madura menyebut daun ini sebagai daun pocok. Selama ini serat daun agel banyak dipakai sebagai salah satu bahan terbaik untuk tali tambang kapal atau tali sapi. Karena sifatnya yang lentur sekaligus kuat, maka daun agel juga cocok nuutk dijadikan kerajinan.

Maka relawan kemudian mendatangkan pelatih dari Surabaya untuk mengajari para pengungsi untuk membuat kerajinan rajut dan anyaman dari daun agel. Pesertanya adalah 10 orang ibu-ibu dari Kecamatan Sepulu, Bangkalan.

“Sepuluh orang itu yang kemudian kami jadikan ketua kelompok, membawahi sekitar 10 hingga 15 orang,” ujar Faiq.

Mengajari para pengungsi ini sungguh bukan pekerjaan mudah. Nyaris semua perempuan –banyak dari mereka janda korban kerusuhan– yang diajak Faiq tidak punya kemampuan membuat kerajinan tangan. Maka prosesnya memang dari nol. Namanya berproses, kadang hasilnya tak sesuai bayangan.

“Ada yang bagus, ada yang kurang bagus. Tidak apaapa. Semua kami beli, agar mereka punya penghasilan. Sembari tetap kami ajari dan awasi untuk membuat produk yang lebih bagus.”

Sayang, setelah program dari para relawan ini selesai, sebagian besar dari mereka tidak melanjutkan usaha kerajinan ini. Maka Faiqotul tergerak untuk mendirikan CV Daun Agel pada 2008 silam. Ada sekitar 25 orang tenaga kerja di CV Daun Agel, yang didominasi oleh ibu-ibu dan perempuan muda. Tugas mereka adalah menyediakan bahan baku, membuat desain dan ukuran, menjahit, dan merajut. Sistem penggajiannya secara borongan disesuaikan dengan jumlah produk yang digarap.

Dalam sebulan, CV Daun Agel bisa membuat hingga 300 tas, dan sekitar 500 dompet serta berbagai barang kerajinan seperti rajutan, tas, topi, dan juga karpet. Sebagai awalan, Faiq mulai memasarkan produknya ke dinas-dinas di Bangkalan.

Kejutan datang suatu hari ketika ada seorang pembeli dari Amerika Serikat datang. Pembeli bernama Karen ini membeli dalam jumlah cukup banyak sembari memberi catatan kalau produk-produknya perlu beberapa perbaikan untuk bisa diekspor.

“Dari sana, pasar internasional perlahan terbuka,” kata perempuan asli Madura ini. Produk-produk Daun Agel yang punya sertifikat HAKI ini sudah diekspor ke Jepang, Amerika Serikat, Singapura, juga Perancis. Faiqotul turut pula beberapa kali mewakili Indonesia untuk ikut ke berbagai pameran internasional, seperti di Istanbul, Turki; juga di Basel, Swiss. Di berbagai pameran itu, produk Daun Agel diminati para pengunjung.

Kelebihan dari produk CV Daun Agel ialah bahan bakunya melimpah dan banyak tenaga kerja terampil ibuibu yang diberdayakan. Produk lokal, ramah lingkungan, modelnya unik, dan bahan bakunya dari serat alam. Biaya produksi rendah karena dikerjakan oleh kelompok ibu-ibu di rumah masing-masing. Selain itu, sudah terbangun sistem kepercayaan antara produsen dan pengrajin.

Sedangkan kekurangannya adalah karena produk serat alam, maka harus ada perlakuan khusus dalam proses pengeringannya, penyimpanannya, dan harus tetap menjaga aroma alaminya. Masalah lainnya adalah soal modal, karena tidak semua konsumen yang sudah pesan memberi uang muka atau membayar langsung.

“Padahal saya tak mau menunda pembayaran ke pengrajin. Kita kan harus membayar upah pekerja sebelum keringatnya kering,” tutur Faiqotul. “Jadi mau tidak mau ya saya talangi dulu.”

Dalam upaya mengatasi kekurangan dari perusahaan CV Daun Agel, Faiqotul rajin melakukan konsultasi dengan IKRA Indonesia, dan beberapa mentor lain. Selain itu, guna melebarkan inovasi produk, Faiqotul berkolaborasi dengan sesama anggota IKRA Indonesia yang memproduksi kain tenun dari Nusa Tenggara Timur.

Meski kondisi sedang susah untuk semua UKM, Faiqotul enggan untuk mengeluh, apalagi menyerah. Dia juga tak mau memberhentikan para pekerjanya. Baginya, CV Daun Agel lebih dari sekadar sumber pemasukan dan hitungan bisnis. UKM ini adalah sarana untuk membantu sesama perempuan, juga yang turut ambil bagian dalam penyembuhan trauma yang terjadi lebih dari dua dekade lalu.

“Saya senang karena bisa memberdayakan ibu-ibu yang dulu tidak punya pendapatan. Lebih senang lagi, jika ada konsumen yang puas pada kualitas produk CV Daun Agel, lalu repeat order,” tutur Faiqotul tertawa.

 

Share: