“Aslinya saya orang Teknik Elektro. Waktu itu diterima di bagian telekomunikasi dan ditempatkan di Papua, tapi orang tua nggak memperbolehkan karena anak cuma satu. Cari kerja lagi di Jawa, tetap ditendang kerja ke luar Jawa. Kerja lagi jadi sales. Saat itu merasa bodoh sekali kenapa jual produk orang lain? Nggak produk sendiri.”

Di balik keindahan motif dan aneka warna batik Asta Dadapan Indah asal Kediri, siapa sangka ada Adi yang seorang lulusan Teknik Elektro. Latar akademiknya jauh dari desain. Beberapa kali juga sempat mendapat kerja yang tak ada hubungannya dengan desain dan batik. Namun, berkat belajar otodidak lewat berbagai media, kini ia mampu mengembangkan usaha batik turun temurun sang orang tua.

Dihubungi via telepon, Adi bercerita tentang Asta Dadapan Indah yang ia bangun sejak 2016, melanjutkan brand lama batik orang tua.

“Sebenarnya ibu saya usaha batik juga nggak sengaja. Salah pilih, dikira painting menggambar biasa, ternyata kursus membatik. Akhirnya sudah terlanjur dan 2010 usaha batik berdiri. Tahun 2016 saya ganti pakai brand Asta Dadapan Indah,” kata Adi.

Otodidak banting stir jadi pebatik

“Dulu nggak pernah kebayang sama sekali (untuk jadi pebatik). Kuliah cuma dikasih tahu orang tua setelah lulus jadi PNS atau kerja di BUMN,” ucap Adi.

Titik balik itu hadir saat Adi bekerja jadi sales. Mempertanyakan diri mengapa malah menjual produk orang lain, sedangkan keluarga menjual produk batik. Adi mengutarakan niat ke orang tua dan mantap berusaha lanjutkan usaha batik.

Sekilas latar akademiknya mungkin jauh dari usaha batik. Dari yang belajar terkait infrastruktur, jaringan, kini harus banting stir berjibaku dengan motif, kain, pewarnaan, sampai pemasaran. Dari hulu ke hilir usaha batik Adi belajar otodidak, baik dimentori sang ibu maupun media. Dari melanjutkan motif lama, sampai membuat inovasi motif baru.

“Ternyata ada juga ilmu saya dulu di kuliah yang kepakai, terutama matematika. Ilmu buat perkiraan bahan baku yang diperlukan, alat pakai kompor listrik agar tidak terlalu banyak mengeluarkan gas, reaksi fisika, gramasi warna pakai bahan kimia,” tambah Adi.

Sampai sekarang, Adi pun tak berhenti belajar. Apalagi perubahan terus terjadi di segala sektor.

Bertahan demi masyarakat

Menurut Adi, permasalah paling besar dalam menjalankan usaha ialah mempertahankan dibanding merebut. Ia terus putar cara bagaiamana mempertahankan usaha biar tidak dikalahkan orang lain. Naik turun dalam usaha terus terjadi. Apalagi masa pandemi Covid-19 ini. Fase “panen” saat Idul Fitri dan kegiatan pameran terpaksa tak didapat. Padahal, banyak masyarakat masih bergantung pada usaha batiknya untuk hidup sehari-hari.

“Yang bikin tetap semangat ingin mengembangkan desa, semangat memberdayakan warga. Yang penting orang jangan nganggur. Mereka masih punya anak kecil, nggak punya suami. Selama kita menolong orang pasti ada jalan. Kalau kita tidak memberikan uang dapur, mereka jadi apa? Rejeki kita juga dari mereka,” tutur pemilik usaha batik dengan pegawai banyak korban PHK perusahaan rokok itu.

Adi selalu ingat pepatah jawa: “Sopo sing nanduh, sopo bakal ngunduh”. Menurutnya, di mana kita menabur kebaikan, akhirnya kita akan memetik kebaikan. Hal itu terus dipegang Adi, bahkan saat usahanya tersendat tak banyak pesanan.

Sekitar 200 potong kain batik kini masih menumpuk. Pesanan minim. Gairah orang untuk membeli kain batik tak setinggi dulu. Hal ini memang terjadi dan memukul industri fesyen. Namun, Adi terus berusaha memberi pekerjaan bagi para ibu-ibu pebatik yang bekerja dengannya walau bayaran batik tak sebesar dulu.

“Tetap pekerjakan (karyawan). Yang penting karyawan bisa makan setiap hari.”

Populerkan batik Kediri

Tak hanya ingin daerahnya terkenal dengan tahu atau tenun, Adi berambisi untuk mempopulerkan batik. Beragam cara dilakukan, salah satunya dengan bersedia menjadi tempat belajar banyak anak SD untuk membatik. Setiap tahun Asta Dadapan Indah menjadi tempat belajar ekstrakurikuler murid SD untuk membuat seragam batik.

“Jadi biar Kediri nggak hanya terkenal dengan tahu atau tenunnya saja, tapi juga ada batik.”

Share: