Sebagai anak yang lahir di Tidore dan besar di luar Tidore, serta masih keturunan Sultan Tidore, Anita Gathmir Kaicil memiliki keresahan atas tanah kelahirannya. Seluk-beluk Tidore yang pernah memiliki kejayaan di masa silam, mulai jarang diketahui oleh orang.

Berangkat dari keresahan itulah pada tahun 2016 Anita perlahan mencoba mengenalkan Tidore, awalnya melalui media sosial. Ia rajin mengunggah foto-foto dan informasi mengenai Tidore. Dia mengadakan lomba menulis tentang Tidore, sampa membuati event yang mengundang blogger untuk datang dan menulis tentang Tidore.

Suatu waktu, foto yang Anita unggah di media sosial mendapat komentar, bahwa kain yang dipakai oleh pasukan adat dalam upacara adat di foto tersebut bukanlah asli buatan Tidore.

“Komentar tersebut membuat saya penasaran sekaligus tertampar. Saya yakin bahwa tidak mungkin Tidore, yang dahulu mempunyai sejarah dan kejayaan, tidak mempunyai kain khas asli,” ujar Anita.

Keyakinan itulah yang kemudian membawa Anita pada serangkaian pencarian khazanah kain khas dari Tidore. Ia dibantu oleh anak-anak muda Tidore yang juga bersemangat dan tertarik mencari kain khas Tidore. Dari mulai bertanya kepada sesepuh, mencari arsip di museum tekstil di Jakarta, sampai bertanya kepada pakar kain.

Namun, Anita tidak kunjung menemui titik terang. Di tengah keputusasaan mencari, ada kabar terang. Saat berkunjung ke rumah pamannya, pamannya ternyata masih ingat dulu ada alat tenun di gudang rumahnya. Kabar baik lain juga sampai: pada tahun 2017 salah seorang pemuda Tidore yang ikut serta dalam pencarian, mengabari bahwa di kantor arsip daerah ada sebuah foto hitam putih, yakni sebuah motif kain.

“Ketika melihat foto tersebut, meskipun berwarna hitam putih, saya yakin itu adalah bukti bahwa dahulu Tidore mempunyai kain tenun asli,” kata Anita.

Berdasar petunjuk-petunjuk itu dan bantuan dari BI Maluku Utara, pada tahun 2017 Anita mendirikan perusahaan tenun Puta Dino Kayangan. Dalam bahasa Tidore, Puta Dino berarti tenun, dan Kayangan berarti tinggi nilainya. Perlahan, usaha ini memproduksi kain tenun khas Tidore yang punya ciri khas memakai benang murni dari kapas yang dipintal.

Kini mereka punya 12 motif khas Tidore, mulai dari motif cengkeh, kalajengking, laha-laha, jodati, bakarati, gomode mabunga, hingga motif tuan guru. Motif tuan guru ini menarik karena justru ditemukan di Afrika. Pada abad 18, seorang ulama asal Tidore bernama Abdullah Kadi Abdus Salaam menyebarkan agama Islam di Afrika Selatan.

Gambar perawakan Abdullah, yang dikenal sebagai Tuan Guru, yang ditemukan di sebuah perisai ini kemudian diaplikasikan menjadi motif kain tenun. Selain motif tuan guru, hampir semua motif dibuat ulang berdasarkan foto-foto hitam putih yang ada di Museum Leiden, Belanda.

Saat ini terdapat lima orang pekerja tetap yang bekerja di Puta Dino Kayangan. Kelima orang tersebut adalah lulusan SMA yang sejak awal ikut bersama Anita melakukan penggalian tenun Tidore. Para pekerja tersebut dibagi berdasar tanggung jawab di masing-masing tahap, dari mulai pembukuan, stok, alat/produksi dan display. Selain kelima pekerja tetap itu, biasanya juga terdapat anak SMA yang sepulang sekolah belajar menenun atau sekadar ikut memintal. Bagi Anita, ini adalah upaya untuk mengenalkan dan meneruskan pengetahuan tentang kain khas Tidore pada generasi muda.

“Saya tak mau kain Tidore ini hilang lagi seperti dulu. Bagi kami, puta dino adalah peninggalan penting untuk anak dan cucu para leluhur kami,” kata Anita.

Sejak awal dirintis, Puto Dino Kayangan telah mengalami perkembangan signifikan. Produknya pun tidak hanya kain tenun saja, tapi juga pakaian, masker, anting-anting, bros dan aksesoris lainnya dari bahan tenun. Harganya merentang dari Rp150 ribu sampai Rp1,5 juta.

Sebagai usaha yang baru dimulai dari menggali kepingan-kepingan sejarah yang sempat hilang, tak heran kalau kendala usaha ini ada pada SDM. Masih perlu banyak waktu untuk kembali merekatkan jarak antar generasi yang sempat terputus selama 100 tahun.

“Jadi di sini tidak seperti di daerah lain, yang tradisi menenunnya sudah terwariskan secara turun temurun. Di sini kain tenunnya baru saja direvitalisasi dan SDM-nya baru dilatih keterampilannya,” kata Anita.

Inilah yang membuat Anita masih mengalami kesulitan untuk mencari tenaga kerja. Akan tetapi, beruntungnya para remaja Tidore yang bersama Anita begitu bersemangat untuk terus belajar. Bahkan, saat ini, mereka tidak hanya mahir menenun, tetapi juga berinovasi membuat motif dan bahkan membuat alat sendiri.

“Saya sangat bangga dengan anak-anak muda itu, yang telah menunjukkan semangatnya untuk terus menggali kekayaan budaya di Tidore.”

Share: